![]() |
SUARABERKARYA.COM, PEKAN BARU - Pristiwa heroik kerap terjadi pada pengulangan waktu dimana Agustus merupakan bulan yang sangat bersejarah terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Bangsa yang dengan tumpahan darah dan airmata serta nyawa melayang hanya untuk merebut satu kata yaitu “MERDEKA”.
Proklamasi yang dikumandangkan pada hari Jum’at ditengah
haus dan dahaga karena berlangsungnya puasa ramadhan saat itu, telah mampu
menancapkan cita-cita proklamasi yang bertujuan menegakan keadilan, menjaga
persatuan, mendekatkan musyawarah dalam setiap kebijakan dan keputusan dengan
tujuan utama terciptanya keadilan dan kemakmuran rakyat indonesia seutuhnya.
![]() |
Suasana Penghadangan Neno Warisman, Sabtu, 25 Agustus 2018 (Bandara Sultan Syarif Qasyim II Pekan Baru) |
Namun apa nyatanya ? Pekan Baru, Tanah melayu, yang merupakan bagian yang integral dari NKRI dan secara historis diketahui banyak mengorbankan harta, menumpahkan darah para santri dan ulama serta airmata warganya untuk berteriak “ALLAHU AKBAR” guna mencapai cita-cita bersama keluar dari penjajahan yang berlangsung berabad-abad lamanya. Bandara Sultan Syarif Qasyim II kini menjadi saksi dimana runtuhnya nilai-nilai demokrasi.
Banyak para petinggi bangsa ini bahkan para petinggi partai
yang mengakhiri pidatonya dengan berseru penuh semangat “MERDEKA”. Sayang esensi merdeka saat ini hampir kehilangan makna. Bahkan
dibulan yang sangat bersejarah persekusi itu terjadi. Hj. Neno Warisman adalah
satu dari korban persekusi di tanah air tercinta ini.
![]() |
Ustadzah Hj. Neno Warisman Yang Penuh Kecemasan Dalam Mobil Pada Pristiwa Penghadangan |
Seorang ustadzah bertubuh mungil, cantik, manis, sejuk, simpatik dan tak ada sedikitpun gambaran yang menyeramkan pada dirinya. Neno bukanlah residivis apalagi teroris. Tak ada catatan dirjen imigrasi tentang pencekalan dirinya. Kehadiran mantan rockers di era 80an ini atas undangan panitia deklarasi #2019Gantipresiden. Dan catatan terpenting adalah dirinya hadir dalam wilayah hukum NKRI yang sama dan terintegrasi sebagai bagian dari wilayah hukum negara indonesia yang kita cintai bersama.
Sebuah pemikiran yang sesungguhnya tak boleh dibelenggu dengan
alasan apapun karena itu adalah hak asasi manusia yang tentunya merupakan
sebuah konsesus bertarap internasional yang telah diratifikasi oleh bangsa ini
yang konon menjunjung tinggi azas taat hukum dan perumdang-undangan. Sebuah pristiwa
yang melahirkan tanda tanya bagi para pakar hukum, akademisi serta para pelajar
dan mahasiswa tentang pelajaran hukum dan sejarah.
![]() |
Pemandangan Langka Pasca Kemerdekaan Yang Berusia 73 Tahun Indonesia |
Karena apa yang dipelajari tentang hukum dan demokrasi justru menimbulkan pertanyaan
bahkan bisa disebut akan mampu menyesatkan. Sebagian atau kebanyakan orang
pasti bertanya. Atas dasar hukum dan aturan yang mana sehingga seseorang tidak
bisa keluar dari bandara tanpa memiliki cela dan kesalahan yang diatur dalam perundang-undangan.
Jika karena alasan dihadang sekelompok orang dipagar
pembatas bandara, maka sesungguhnya wibawa kepolisian sedang dipertaruhkan.
Negara yang dikenal bahkan menjunjung tinggi norma-norma hukum tapi tidak mampu
aparat kukumnya melayani, mengayomi dan melindungi warganya. Bahkan kita
ketahui bersama bahwa bandara adalah salah satu areal yang tak boleh ada demonstrasi
apapun alasannya. Justru itu yang seharusnya dilakukan oleh pihak keamanan guna
menerapkan fungsi pelayanan masyarakat. Siapapun dia. Terkecuali bagi
pihak-pihak yang diatur dalam ketentuan hukum dan perundang-undangan.
Penghadangan yang terjadi kemarin, Sabtu 25 Agustus 2018, sejak
pukul empat sore, tanah melayu menjadi saksi bisu perlakuan terhadap seorang
pendakwah wanita hingga ba’da isya merupakan sebuah tontonan yang sangat memilukan
sekaligus memalukan bagi bangsa ini. Sebuah bangsa yang besar, bangsa yang memiliki
dasar ketuhanan dan menjunjung tinggi nila-nilai hukum, demokrasi, kebhinekaan serta
mematok NKRI sebagai “Harga Mati”
justru mempertontonkan “Matinya Demokrasi” dinegeri tercinta ini.
![]() |
Pemasangan "Police Line" Oleh Aparat Keamanan |
Deklarasi yang bertajuk #2019Gantipresiden adalah pemikiran, sikap dan langkah yang konstitusional bahkan dilindungi oleh UUD 1945 sebagai pondasi yang dipasang sebagai pijakan dalam berbangsa dan bernegara. Keinginan kuat terhadap sebuah perubahan demi perbaikan penyelenggaraan negara dimasa yang akan datang. Ingat...! bukan hari ini...! Tapi nanti 2019 yang akan datang.
Jika pemikiran, pandangan dan harapan itu dihadang, maka
dapat dipastikan bahwa suatu saat, mimpi pun akan bisa dilarang. Dimanakah “Kemerdekaan”
dan demokrasi. Triliunan rupiah negeri ini menggelontorkan anggaran biaya untuk
sebuah gelaran demokrasi yang kita kenal dengan istilah Pemilihan Umum (PEMILU)
pada tiap lima tahunan.
Masih dalam bingkai demokrasi yang di “Agung-agungkan”
selama ini, Kita, negara dan undang-undang sepakat menjunjung tinggi nilai-nilai
hukum, kesamaan hak dalam berdemokrasi. Namun generasi ini disajikan dengan
sebuah tontonan yangironi dan penuh tanda tanya. Tontonan bak sebuah produk
laboratorium film “Hollywood” yang sangat mencengangkan sekaligus menegangkan.
Kanalisasi yang tersumbat saat ini, bisa jadi sangat mungkin
dan tak terhindarkan akan meledak secara High Explosive pada waktu tertentu.
Terutama menjelang pemilihan umum yang sudah tinggal menghitung waktu. Gelaran
Pemilu dan Pilpres yang kurang lebih tinggal 1.399.680.000 detik lagi menuju 17
April 2019 seharusnya tidak ternodai dengan pristiwa memilukan sekaligus
memalukan.
![]() |
Negoisasi Hingga Malam Hari Yang Berujung Pada Pemulangan |
Sangat elegan jika konsep pemikiran bagi warga masyarakat
yang memiliki pemikiran dan keinginan yang berbeda pendapat juga menggelar tema
#2019Tetappresiden. Sebagai wujud tumbuhnya
kedewasaan berpolitik dalam berdemokrasi. Biarlah masyarakat, rakyat dan umat
yang dapat menilai dan mengikuti sekaligus menaruh ekspektasi mereka pada konsep
demokrasi yang hakiki dan janganlah takut dengan bayang-bayang sendiri. Kita sangat
yakin dan percaya bahwa masyarakat, rakyat dan umat saat ini sudah sangat
cerdas dalam menentukan sikap dan pilihan politiknya.
Biarlah rakyat sebagai pemilik kedaulatan terhadap bangsa
ini memilih dan menentukan sikapnya dalam mengisi kemerdekaan yang menjadi
gerbang pembangunan bangsa indonesia menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera
dalam arti yang seluas-luasnya. Karena majunya sebuah negara bukan pada
pembangunan infrastruktur dan pembangunan fisik semata. Namun lebih kepada
pembangunan manusia seutuhnya sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 sebagai pijakannya.
(BJP)